Charles Saerang; Pembelajaran Berharga dari Konflik Bisnis Keluarga


Charles Saerang, pria kelahiran Semarang20 Februari 1952 ini merupakan generasi ketiga Nyonya Meneer, wirausahawan jamu legendaris asal Indonesia. Lelaki yang kini berusia 61 tahun itu kini menjabat sebagai Presiden Direktur PT Nyonya Meneer.
Memulai terjun di bisnis keluarga pada usia 24, membuat Charles langsung berguru pada sang ayah. Namun, tahun 1976 sang ayah meninggal dunia. Dua tahun berikutnya, giliran the first generationyakni, Nyonya Meneer sendiri yang tutup usia. Bisnis jamu keluarga tersebut pun akhirnya diterpa konflik internal selama kurun waktu 1984-2000. Anak-anak Nyonya Meneer saling berebut kekuasaan, karena Nyonya Meneer tidak pernah menunjuk siapa penggantinya.

Charles Saerang, Presiden Direktur PT Nyonya Meneer.
Keturunan Nyonya Meneer terancam pecah, bahkan sempat dibawa ke meja hijau. Begitu sengitnya pertikaian di tubuh PT Nyonya Meneer, Menaker Cosmas Batubara saat itu sampai ikut turun tangan. Hal tersebut terjadi karena sampai berdampak ke  ribuan pekerja. Setelah berlarut-larut, kisruh bisnis keluarga terselesaikan. Anggota keluarga yang lain sepakat menjual kepemilikannya di Nyonya Meneer kepada Charles.
Lantas seperti apa lika-liku ayah dari Vanessa Kalani dan Claudia Alana di bisnis keluarga. Berikut penuturan lulusan Bachelor of Science dari Business School Miami University, Ohio, Amerika Serikat ini yang berhasil diliput Swaonline saat bertemu di acara peluncuran buku The Dragon Network karya Patricia dan AB Susanto.
Seperti apa pengalaman yang Bapak alami sebagai pemain di bisnis keluarga, dimana bisnis semacam ini masih sangat kental dengan tradition value?
Saya lihat budaya Indonesia ini memang luar biasa. Saya sekolah di luar negeri habis kira-kira 16 tahun. Begitu kembali, saya melihat bahwa tradisi budaya di sini masih sangat erat. Saya berusaha mengubah persepsi tentang apa yang sudah saya pelajari di luar negeri, karena nyatanya jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Kota Semarang. Semarang ini sangat konservatif. Masuk ke kamar saja, tamu harus ketok pintu, ngintip-ngintip. Harus melihat timingnya bagaimana. Yang lebih tua itu ibaratnya dianggap dewa. Jadi dewa sekali.
Saya melihat bahwa first dan second generation ini mempunyai peranan yang luar biasa, yang mungkin di Indonesia masih sangat kental. Misalnya, salah satu contoh tradisi di keluarga Bu Mooryati, kalau ketemu, pengawalnya dari jauh harus jalan jongkok sedikit menyembah. Tradisi ini mungkin sudah bawaan kerajaan, dan sampai sekarang masih dibawa Kota Semarang.
Ibu saya orang luar pulau. Waktu tinggal di Semarang, Beliau tidak ingin lama. Hanya sekitar 15 tahun, karena sudah tidak kuat lagi. Di Semarang itu sistemnya cium kaki. Jadi setiap tahun itu harus cium kaki  (sujudnya sampai cium kaki). Jadi orang luar pulau tidak bisa menyesuaikan. Ibu saya orang luar pulau, ya akhirnya pindah ke Jakarta.
Jadi, satu bagian tradisi budaya di sini, kaitannya dengan kultur masih kuat sekali. Akhirnya waktu saya berusaha untuk mengubah, timbul resisten. Karena saya anak muda dipikir kurang ajar, meskipun saya beusaha untuk setengah menyembah. Gajian saja saya musti setengah nyembah, padahal itu hasil kerja saya. Jadi harus cari waktu yang benar supaya dapat gajian. Kalau nggak, ya nggak gajian. Hehhehe…
Jadi harus belajar banyak dari pengalaman yang sudah dihadapi. Ibaratnya pernah pula mengalami 3 kali berantem karena bisnis keluarga, tapi ending-nya harus ada trustHow to build up good communication and transparantTransparant ini bukan berarti terus blak-blakan, buka-bukaan, tidak!!! Kita harus tahu timingnya. Jadi kalau kita bicara secara emosional di dalam family base , ini pasti ribut.
Saya setuju bahwa jangan sekali-kali Anda masuk di dalam perusahaan family base. Karena semuaemotionalThinkingnya, kerjaanyaa hampir semua emosional. Maka kalau bisa jadilah komisaris. Jangan jadi the doers, (yang mengerjakan), karena emosionalnya sangat tinggi. Apalagi kalau misalnya bapaknya menyentuh teman kita. Maka segala hal yang teman kita lakukan akan dibela mati. Akhirnya akan timbul hak antara employeers dan employees. Ada hubungan yang kurang mesra saya lihat. Kalau  Bahasa Jawanya bisa diadu domba antara hubungan si ayah-anak, dan si ayah dengan temannya anak. Ini akan terus berlangsung, dalam arti akan menimbulkan satu kehidupan yang tidak baik.
Artinya jangan sampai jadi the doers, lebih baik kita yang di belakang layar. Kalau di belakang layar kan masih bisa senyum, masih bisa ketawa. Tapi kalau kita sudah bekerja di dalamnya, maka akan melibatkan semuanya.
Pernahkah mengalami satu masalah di lingkup bisnis keluarga ini, karena seperti yang Bapak katakan tadi bisnis ini sangat kuat di sisi emosionalnya. Bagaimana cara mengatasinya? Apakah peran orang-orang yang non keluarga menjadi salah satu pemberi solusi? Mungkin Bapak bisa ceritakan suksesi Bapak di Nyonya Meneer atau di bisnis Bapak yang lainnya?
Sebelum masuk ke suksesi, saya ingin menyentuh sedikit tentang family business yang saya alami. Uniknya, di Indonesia ini memang kesuksesan perusahaan didapat bukan hanya dari keluarga tapi juga dari kawan-kawan. Saya masuk di bisnis keluarga ini sudah 24 tahun, tapi semua dibantu oleh kawan-kawan, bukan dari keluarga. Bisa dibayangkan, I have more non chinese friends then chinese friends. Dan itu terjadi di mana-mana. Jadi uniknya, semua kejadian-kejadian di dalam kehidupan saya, yang selama 24 tahun ini, yang ribut keluarga, dan lain-lain. Ini justru justru yang membantu adalah kawan-kawan saya. Banyak dari mereka yang akhirnya jadi jenderal, menteri, wapres, dan sebagainya.  Dan, mereka yang membantu saya, meskipun mereka bukan keluarga. Jadi, ini satu keunikan tersendiri bahwa di Indonesia ini hubungan kawan bisa menjadi sangat-sangat erat secara emosional. Malah yang menyebabkan keributan adalah dari family sendiri. Yang memecah belah perusahaan ya dari keluarga sendiri, tapi yang menyelamatkan adalah  society, karena saya memang mempunyai hubungan baik dengan mereka sejak masih sekolah.
Saya masih ingat bagaimana hubungan Walikota Semarang dengan Gubernur Jawa Tengah waktu itu, sangat-sangat ribut, gara-gara masalah Nyonya Meneer. Bagaimana kepala Dandim (Komandan Kodim) Semarang berantem dengan Walikota Semarang sampai mereka tidak dikasih meja kursi gara-gara ulah Nyonya Meneer ini. Jadi, Anda bisa bayangkan bahwa kawan-kawan saya ini luar biasa. Koksampai dari jabatannya pun dia mau pertaruhkan. Saya masih ingat, waktu zamannya Alm. Pak Gubernur Ismail, beliau meminta saya supaya keluar dari Semarang, dengan catatan jangan kembali lagi ke Semarang. Sampai ada penekanan, kalau tidak, saya akan buat anda jadi komunis, itu kan sudah sangat ekstrem. He he he… Tapi yang membantu saya malah Walikota Semarang. Beliau menjawab, kalau saya sudah bentrok dengan gubernur, kamu ikut saya. Saya tanya, loh kok bisa begitu? Beliau menjawab, “Ya, karena saya sudah bantu kamu all out, jadi kamu harus bantu saya, biarpun saya harus dipecat oleh gubernur.” Jadi sampai seperti itu bentuk dukungannya. Ini unik juga walaupun mereka bukan chinese. Mereka benar-benar pribumi yang memikirkan kehidupan ribuan orang ini.
Apa pembelajaran penting yang Bapak dapatkan di dalam suatu bisnis keluarga?
Memang regenerasi ini susah sekali. Ada 2 kemungkinan, pertama apakah mereka siap. Kedua, kapan. Setelah dipelajari, ributnya keluarga saya itu memberikan satu pembelajaran tersendiri bagi saya. Saya bisa menyampaikan beberapa pesan, bahwa generasi pertama dan kedua ini sangat sensitif. Kalau kedua dan ketiga mungkin sudah tidak seserius yang pertama. Pertama dan kedua itu harus bisa menjelaskan secara proporsional. Kalau bapak ibunya tidak transparan terhadap anaknya, ya it’s going out. Saya yakin akan terjadi kendala. Contohnya kalau saya punya anak, dan saya kirim ke luar negeri. Dua tahun tidak pulang-pulang, ya pasti hilang. Maka dari itu, hubungan komunikasi ini harus jalan terus. Apalagi kalau kita mengharapkan dia kembali ke Indonesia. Ya, every six months kita musti ada game yang harapannya akan membuat si anak akan suka di Indonesia. Kalau tidak, kehidupan di sana pasti akan lebih hebat lagi, karena lebih terbuka dan transparan. Dan lagi, anak sekarang kan sangat ekspose terhadap globalisasi sehingga dikuatirkan akan terbang kemana-mana.
Jadi, kalau saya lihat ke depan, memang yang paling sensitif adalah generasi pertama dan kedua. Karena chalengingnya luar biasa. Uniknya lagi generasi pertama itu nggak mati-mati. Kalau zaman dulu kan generasi pertama ke generasi berikutnya berjalan cepat. Kedua, misalnya di generasi yang kedua ini saya berumur 60. Padahal setiap generasi berubah per 20 tahun, maka kalau saya punya anak umur 20, berarti saya mempelajari generasi ke-3, secara tidak langsung, karena dari 60 ke 40 dan ke 20. Jadi kalau nggak mati umur 80, ketemu anak umur 20, berarti sudah 4 generasi secara tidak langsung. Jadi karena sangat cepatnya arus globalisasi, kita harus antisipasi lagi. Kita harus lebih up to date lagi. Anak saya umur 20, ya saya musti ngikutin. Kadang saya ya mikir, kok tidak sesuai dengan aspirasi atau persepsi saya? Tapi ya sudahlah, sabar. Ndengerin. Sambil berpikir mau dibawa kemana ini, ha ha ha ha…. Kalau dulu, ayah saya yang akan koreksi langsung ini ini ini, terus jalan. Jadi cause and effectnya jelas. Kalau sekarang beda. Jadi inilah tantangan bagi kita sebagai pendahulu, the next generation must be more difficult.
Apa pesan Bapak untuk generasi penerus ini supaya bisa menjadi generasi yang lebih baik lagi? Adakah pengalaman menarik yang bisa di-share?
Saya pernah memberikan ceramah di Ciputra Enterpreneurship. Di sana ada kejadian lucu. Orang-orangnya kaya-kaya semua. Yang datang naik mobil semua, dan mobil-mobil mereka pun luar biasa bagusnya. Terus saya tanya, dia mau meningkatkan jiwa kewiraswastaannya bagaimana? Apakah akan mengacu ke bapaknya atau ibunya? Dijawab, tidak. Sangat idealis dia. Lalu saya tanya bagaimana bentuk kreativitasnya. Ya begini saja, dia tidak dikasih bisnis, karena bapak ibunya kan sudah kaya-kaya semua, ngapain dikasih bisnis. Jadi bisnisnya macam-macam, bikin desain, bagaimana cara menyajikan kopi, wah lucu-lucu itu. Ada yang kopi keluar dari tembok, segala macam. Aneh-aneh pokoknya karena mereka punya uang. Dan, saking hebatnya, ada yang memamerkan uangnya untuk membeli kreativitas. Jadi, dia berusaha mencari inovasi-inovasi baru. Tidak ada lagi ide buka toko karena bapak-ibunya sudah jago buka toko. Jadi, cari ide yang aneh-aneh. Bikin makananJapanese Cookies, warna-warni, merah, kuning  ijo, biru, kreatif sendiri lah. Tapi, dengan dana yang begitu besar, mereka berusaha another way of thinking. Mungkin hasilnya kebanyakan memang ahli inovasi tapi ada juga yang tidak bisa diterapkan. Hanya sebatas ide, karena setelah selesai, tidak berlanjut. Yang penting keluar ide, tunjukkan pada keluarga bahwa we are different, dan sekalian dosennya juga bingung karena idenya yang aneh-aneh itu tadi. Karena anak zaman sekarang ini kan inginnya sesuatu yang bapak ibunya tidak bisa. Inginnya unik. Tapi dengan segala uang yang dimiliki, akhirnya rela membeli kreativitas apapun. Inilah yang mungkin menjadi satu tantangan, how to manage the next generation, because talk about the future is not easy than the past.